Kamis, 06 Oktober 2011

I Luv Traveling... Edisi Journey to OZ part 2 (long way to Adelaide)




Part 2 ini lebih banyak bercerita tentang perjalanan panjang dari Denpasar menuju Adelaide, tempat kakak saya.
Penerbangan ke OZ dari bandara internasional Ngurah Rai-Bali, biasanya dengan "Red-Eye flight" alias penerbangan tengah malam. Jadi jam penerbangan harus diperhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya... wkwkwkwk.. karena tidak jarang ada yang ketinggalan pesawat karena salah menginterpretasikan jam penerbangannya.
Berhubung karena ini adalah perjalanan gretongan atas biaya kakak, jadi saya dan ibu saya harus menerima nasib menunggu di bandara selama berjam-jam untuk connecting flight. Tapi tidak seburuk yang saya bayangkan ternyata, malah cenderung sangat menyenangkan.

Baiklah, markimul ceritanya... 1..2..3..

Mom, menunggu
di lobby terminal Internasional
Ngurah Rai
Menunggu penerbangan internasional di bandara Ngurah Rai lumayan menyenangkan. Apalagi bagi para backpacker/flashpacker yang tidak membawa barang banyak seperti saya. Fasilitasnya cukup menunjang, malah menurut saya lebih bagus dibanding terminal internasional bandara Soetta (Jakarta). Di lobby luar ada semacam bale-bale ukuran besar yang bisa untuk selonjoran atau bahkan tidur-tiduran. Petugas imigrasinya meskipun sangat detail memeriksa satu persatu barang bawaan kami, tapi mereka cenderung lebih ramah dibandingkan petugas imigrasi Soetta :-(
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan yang sangat ketat, Alhamdulillah kami tidak menemui kesulitan. Mungkin karena sebelumnya kakak sudah memberi list barang bawaan yang diperbolehkan dalam penerbangan internasional (termasuk cara packing) dan barang apa saja yang diizinkan untuk masuk ke OZ. Pukul 10.30 pm, kami boarding.
Penerbangan menuju Darwin memakan waktu kurang lebih dua jam, dengan perbedaan waktu kurang lebih dua jam lebih cepat dibandingkan WITA. Penerbangan yang kami gunakan adalah JetStar, budget airline milik OZ. Mirip dengan AirAsia versi Malaysia. Dalam pesawat, 98% penumpang adalah bule, hanya kami berdua yang non-bule... hehehehehe... Tanpa bertanya pun, penumpang disebelah ibu saya sudah tahu bahwa kami berdua ini orang Indonesia (bertubuh pendek, kulit cokelat, idung irit, pake jilbab). Tapi perempuan Australia berusia separuh baya tersebut sangat ramah, apalagi setelah tahu bahwa ini adalah penerbangan luar negeri pertama bagi saya.
Ibu saya sedikit mengalami cultural shock karena penumpang disebelahnya tidak henti memesan vodka dan sepasang penumpang yang duduk tepat di bangku depan kami mulai kissing each other... hehehehe...

Pukul 1 am wita atau 3 am waktu Darwin, kami tiba di Darwin Airport. Meskipun tergolong kecil, namun bandara ini sangat nyaman. Hampir keseluruhan permukaan lantainya ditutupi karpet berwarna biru muda. Meskipun deg-degan karena untuk pertama kalinya berhadapan dengan petugas imigrasi asing, di OZ pula yg terkenal dengan logat khas-nya yang sulit dikenali dan rangkaian pemeriksaan yang cukup panjang karena melalui beberapa kali mesin pemindai, namun Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar jaya...
Setelah urusan ke-imigrasi-an selesai, kami lalu turun ke lantai dasar untuk check-in penerbangan selanjutnya ke Alice Springs. Tapi berhubung karena waktu masih menunjukkan pukul 4am, kami harus bersabar menunggu sampai counter maskapai penerbangan dibuka tepat pukul 6am. Sambil menunggu kami duduk-duduk di sofa yang sangat nyaman yang memang disiapkan untuk backpacker seperti kami. Calon penumpang yang lain juga tampak asik tidur atau sekedar duduk sambil mendengarkan musik dari iPod mereka.
Oia, sepertinya hampir di setiap bandara di OZ ini memiliki relawan, biasanya para pensiunan, yang siap memberikan informasi kepada para calon penumpang. Misalnya untuk lokasi toilet, counter maskapai penerbangan, lokasi vending machine, dan informasi lainnya.
Mom, @ Darwin Airport
Tepat pukul 6am, counter JetStar Airline dibuka. Saya bergegas untuk check-in. Setelah itu kami ke ruang tunggu di lantai 2. Serupa dengan lantai 1, ruang tunggu di lantai 2 ini sangat cozy. Lengkap dengan sofa-sofa besar yang membuat kami para backpacker tak perlu resah dan gelisah menunggu jadwal penerbangan yang cukup lama, karena kita bisa menunggu sambil tidur-tiduran di sofa tersebut.
Pukul 7.20am, kami boarding. Tepat pukul 7.45, heading to Alice Springs - Northern Territory.
Kami tiba di Alice Springs sekitar pukul 9.35 am. Cuaca disana lumayan panas dan sedikit lembap. Mungkin karena Northern Territory ini dikelilingi oleh gurun pasir.
Bandaranya lebih kecil dari Darwin Airport. Meskipun tidak ada sofa besar, tapi tidak kalah nyamannya. Karena harus menunggu lagi sekitar hampir 2 jam, kami menyempatkan diri untuk berbelanja pernak-pernik di toko souvenir yang ada diruang tunggu. Jadi belum genap 12 jam menjejakkan kaki di OZ, kami sudah menenteng barang belanjaan.. hufffhhh *cannotwatch*
Oia, disini untuk pertama kalinya saya melihat langsung bangsa pribumi Australia, suku Aborigin. Rasanya tidak terlalu asing, karena mereka mirip dengan saudara-saudara kita yang di Papua.
Pukul 11.15 am, pesawat Qantas yang kami tumpangi, take-off menuju Adelaide. Sepanjang penerbangan, rupanya pesawat yang kami tumpangi tersebut berada di ketinggian yang masih memungkinkan kami untuk melihat view Northern Territory yang terkenal karena gurun pasir-nya yang sangat luas. Hampir sepanjang penerbangan, yang dilihat adalah hamparan gurun pasir.
Setengah jam sebelum landing, setelah memasuki wilayah kota Adelaide, barulah kami melihat pemandangan yang berbeda. Deretan perumahan yang tertata rapi, gedung-gedung tinggi, dan jalan-jalan yang lurus simetris. Menandakan Dinas Tata Ruang dan Kimpraswil-nya ga makan gaji buta seperti di negeri kita... *irinyaaaaa*
Pukul 12.30 pm, setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya kami menjejakkan kaki di Adelaide. Bandar udaranya lumayan luas, kurang lebih 2 kali luas bandar udara Sultan Hasanuddin. Tapi jangan membayangkan bakal bertemu dengan porter barang, karena disini semuanya harus "do it yourself, Mr.Bean!"... wkwkwkwkw... No need to worry, trolley-nya melimpah ruah dan dalam kondisi sangadd bagus ga seperti di negeri kita yang kadang-kadang roda trolley-nya sudah ga berfungsi.
Keluar dari pintu bandara, kami disambut hawa panas yang menandakan summer is here....
And here we are, Adelaide...

Catatan menarik bagi saya sepanjang perjalanan dari Denpasar ke Adelaide :
Kita selalu merasa bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ramah dan penuh toleransi. Kita menganggap bahwa orang asing utamanya para bule cenderung individualis.
Tapi lihatlah contoh kecil ketika di pesawat dari makassar menuju denpasar. Yang menawarkan diri untuk mengangkatkan travel bag kami ke atas bagasi kabin adalah seorang bule paruh baya yang duduk di baris sebelah. Bukan anak muda Makassar berbadan tinggi tegap yang berdiri tepat dibelakang kami.
Contoh lain, ketika hendak turun melalui escalator di bandara Adelaide. Karena kebanyakan tentengan, saya dan ibu jadi agak sedikit kesulitan karena masih harus menarik travel bag kami. Seorang bule cantik usia 30-an berpakaian sangad kereeenn yang berdiri di belakang kami menawarkan bantuan dengan sangat sopan. Bule cantik itu lalu membantu mengangkat travel bag ibu saya ke atas escalator dan membantu membukakan pintu keluar bandara...
See, dua contoh kecil ini jarang sekali dilakukan oleh bangsa kita sendiri.
Ada satu hal lagi yang patut diacungi jempol yakni kedisiplinan mereka untuk tidak mengaktifkan ponsel selama berada di dalam pesawat. Kebiasaan sebagian besar orang Indonesia, begitu pesawat telah landing yang ditandai dengan mendaratnya roda pesawat meskipun pesawat belum berhenti sempurna, bunyi klak-klik seat-belt dilepaskan dan ponsel diaktifkan mulai ramai terdengar. Serasa orang paling sibuk seduniaaaa... menyebalkannn.... huufffhhhhh
Yahhh, itulah kebiasaan buruk sebagian besar orang-orang di negeri kita ini....

Well, sekian dulu untuk part 2 ini. Next time disambung lagi yaaa.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar